Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melanggar Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut Direktur Eksekutif ICJR Anggara, terdapat dua prinsip umum soal pemutusan akses terhadap informasi atau dokumen elektronik yang tercantum dalam undang-undang itu, yakni pasal 43 ayat 3 dan 4.
Salah satunya di Pasal 43 ayat 3 institusi terkait bisa melakukan pemutusan akses jika dilakukan penyitaan terhadap 'benda digital' (website dan akun media sosial) yang diduga dapat menganggu kepentingan umum.
"Jadi konsep dasarnya dia [Kemenkominfo] melakukan penyitaan [benda digital] dan dia tidak boleh menganggu penyelenggaraan kepentingan umum. Pemblokiran internet di Papua sudah bertentangan karena dia tidak melakukan penyitaan," kata Anggara kepada awak media di kantor LBH Jakarta, Selasa (3/9).
Lebih lanjut Anggara menerangkan, prinsip lain yang harus dilakukan untuk memutuskan akses terhadap informasi yang beredar secara daring juga merujuk pada pasal 43 ayat 4 yang berbunyi,
"Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum."
"Jadi kalau kita lihat dari prinsip umumnya, muatan [informasi elektronik] yang dilarang itu harus muatan hukum pidana dan dilakukan sesuai kebutuhan hukum acara pidana," pungkasnya.
Kemenkominfo masih memberlakukan pemblokiran akses jaringan internet di Papua dan Papua Barat sejak Senin 19 Agustus lalu. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut.
Pemblokiran dilakukan setelah Kominfo berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait. Kemarin (3/9), Menkominfo Rudiantara menyebut akan membuka blokir internet di Papua dan Papua Barat mulai hari ini (4/9) secara bertahap.
Menurut Direktur Eksekutif ICJR Anggara, terdapat dua prinsip umum soal pemutusan akses terhadap informasi atau dokumen elektronik yang tercantum dalam undang-undang itu, yakni pasal 43 ayat 3 dan 4.
Salah satunya di Pasal 43 ayat 3 institusi terkait bisa melakukan pemutusan akses jika dilakukan penyitaan terhadap 'benda digital' (website dan akun media sosial) yang diduga dapat menganggu kepentingan umum.
"Jadi konsep dasarnya dia [Kemenkominfo] melakukan penyitaan [benda digital] dan dia tidak boleh menganggu penyelenggaraan kepentingan umum. Pemblokiran internet di Papua sudah bertentangan karena dia tidak melakukan penyitaan," kata Anggara kepada awak media di kantor LBH Jakarta, Selasa (3/9).
Lebih lanjut Anggara menerangkan, prinsip lain yang harus dilakukan untuk memutuskan akses terhadap informasi yang beredar secara daring juga merujuk pada pasal 43 ayat 4 yang berbunyi,
"Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum."
"Jadi kalau kita lihat dari prinsip umumnya, muatan [informasi elektronik] yang dilarang itu harus muatan hukum pidana dan dilakukan sesuai kebutuhan hukum acara pidana," pungkasnya.
Kemenkominfo masih memberlakukan pemblokiran akses jaringan internet di Papua dan Papua Barat sejak Senin 19 Agustus lalu. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut.
Pemblokiran dilakukan setelah Kominfo berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait. Kemarin (3/9), Menkominfo Rudiantara menyebut akan membuka blokir internet di Papua dan Papua Barat mulai hari ini (4/9) secara bertahap.